Kamis, 29 Maret 2012

Pendidikan Kewarganegaraan ( kasus UU ITE)


TUGAS PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

KASUS



Kebebasan Berpendapat 
Seorang PNS 
Berujung Polemik dan Konflik
 



















DI SUSUN OLEH :



1.      SHINTA MULYANA                            19210337
2.      SITI  DESIMAYANTI                           16210584
3.      SOFYAROSA                                         16210641
4.      SULAEMAN                                           19210757
5.      SYIFA RIZKYKA                                 16210804
6.      TIARA GUSTIVIANA                          16210885
7.      TUTI HANDAYANI                              19210344
8.      WIDHA LOVENDRIANTI                  18210482
9.       YOHANA SETIANINGRUM             18210665
10.  YUNIAR RICKY G                               18210780
11.  YURISA DEWI                                      18210796



Kelas : 2EA13

Universitas Gunadarma


PEMBAHASAN
Alexander Aan  adalah seorang PNS berusia 30 tahun yang bertugas di kantor BAPPEDA , Sumatera Barat. Alex adalah seorang warga negara Indonesia yang tidak percaya dengan konsep Ketuhanan  dan Agama yang diakui di Indonesia dan secara tegas Alex menyatakan bahwa dirinya adalah seorang atheis .
            Berawal dari bentuk penyampaian pemikiran dan pendapat pribadinya yang ditulis di status facebooknya, yaitu :
“Kalau memang ada Tuhan, mengapa ada kejahatan, kemiskinan. Saya tak percaya surga serta neraka. Oleh sebab itu, sudah merupakan premis saya Tuhan itu tidak ada, dan Nabi Muhammad adalah seorang yang biadab”.
 Pernyataan tersebut menjadi sorotan publik dan mengundang reaksi dari berbagai pihak, yaitu pengguna akun facebook, masyarakat Minang, kaum ulama,kaum adat dan Aparat kepolisian.Dan tulisan Alex tersebut menjadi polemik dan konflik, yang kemudian mendapat tanggapan dan begitu banyak hujatan yang diberikan kepadanya yang semula belum diketahui identitasnya.
           Perdebatan di dunia maya tentang Tulisan Alex itu segera menyebar. Sejumlah orang kemudian berusaha mencari siapa sebenarnya pemilik akun facebook tersebut. Kemudian dilacak oleh masyarakat, dan akhirnya ditemukan yaitu seorang pegawai PNS yang bekerja di Pemerintah Daerah, yang ketika ditemukan sedang membuka akun facebooknya dimana Alex terbukti sedang membuat tulisan yaitu menghujat keberadaan Allah dengan menjadikan Al-Quran dan kisah Para Nabi sebagai kajian tulisannya.

Akhirnya sekelompok pemuda yang geram membawa Alex mendatangi Kantor Bupati Dharmasraya. Kemudian mereka terlibat perdebatan, dimana Alex bersikeras bahwa apa yang dia sampaikan di akun facebooknya hanyalah merupakan pendapat pribadinya.Mendengar pernyataan tersebut, entah siapa yang mengkomandoi, pemuda yang ada dalam ruangan langsung memukul Alex sampai memar lantaran merasa kesal.
Dan MUI Sumatera Barat akhirnya melaporkan Alex kepada pihak kepolisian, Ketua Majelis Ulama Indonesia cabang Sumatera Barat menjelaskan bahwa sikap anti Tuhan yang disebarkan pemilik akun Facebook Alexander  ini  Bertentangan dengan semua agama. Bahkan, keyakinan yang dipertahankan Alex tersebut dinilainya tidak cocok berkembang di Indonesia.Hal tersebut dianggap bertentangan dengan Pancasila, karena tentunya  paham  Atheis tidak dapat diterima di Indonesia.Beliau menyayangkan sikap Alexander  yang sebagai orang minang karena tentu saja ini membawa nama minang, yang menurutnya sendi dasar agama sudah dirusak apalagi Alex telah menghina Allah,Nabi Muhammad, Al-Quran didalam Agama Islam, dan itu tidak dapat ditolelir.
Dan Alexanderpun ditangkap pihak kepolisian setelah mendapat serangan dan hampir diamuk masa yang kesal dengan sikapnya dan akhirnya Alex diamankan di Markas Polsek Pulau Punjung yang kemudian dipindahkan ke Markas Polres Dharmasraya.
Karena statusnya-nya di facebook tersebut, Alexander kini menghadapi ancaman dijerat dengan Pasal 156a KUHP tentang penistaan Agama, dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara.
Selain itu, polisi juga menjerat pemilik akun facebook Alex Aan tersebut dengan Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang No 8 tahun 2011 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan terancam pidana penjara enam tahun serta denda Rp 1 Miliar. Dan Alexpun terancam akan kehilangan pekerjaannya.
Tetapi Tidak hanya hujatan, Alexpun mendapat dukungan dan simpati  dari para freethinker (Pemikir bebas anak Negri) di Indonesia dan Freethinker di berbagai penjuru dunia. Salah satunya adalah sebuah grup Facebook bernama Support Alex Aan’s Human Rights.Ada banyak pengguna Facebook luar negri dan sejumlah akademisi serta organisasi internasional yang memberikan support terhadap Aan.
Sementara itu, dukungan lokal juga terbilang banyak.Sebuah grup Facebook bernama dukung Pembebasan Alex Aan juga memberikan support yang besar untuk Alex.Mereka menyatakan bahwa sedang menyusun langkah untuk memberikan tekanan politik kepada RI agar segera membebaskan dan menjamin keselamatan Alex .
Mereka memberikan pembelaan dengan alasan bahwa tak satupun warga negara RI yang layak dipenjara hanya karena dia tidak mempercayai suatu konsep tuhan manapun. Ketidakpercayaan pada konsep Tuhan bukanlah suatu pelanggaran terhadap hukum terlebih lagi UU pelanggaran seorang atheis di Indonesia telah dihapuskan jadi menurutnya Alex harus dibebaskan.
Dan Kasus Alex tersebut terus diproses oleh kepolisian Polres Dhasmaraya, Sumatera Barat.






PENDAPAT & SARAN KELOMPOK
 Kebebasan berpendapat merupakan hak dasar setiap manusia, yang merupakan wujud penyampaian ekspresi baik secara lisan maupun tulisan melalaui media apa saja tanpa kekangan dari pihak manapun, dan negara pun menjaminkan hak tersebut kedalam peraturan perundang-undangan.
Dan seiring perkembangan teknologi, kebebasan berpendapat melalui media onlinepun menjadi sangat diperhitungkan. Dan Internet telah menjadi salah satu media alternatif bagi publikuntuk mengutarakan pendapat seseorang. Untuk itu pula di buat Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), yang saat ini banyak mengundang kontroversi,polemik dan konflik, salah satunya adalah Kasus yang kamu bahas.
Sebenarnya kebebasan yang diberlakukan bukanlah kebebasan mutlak tanpa batas. Kebebasan yang dijalankan adalah kebebasan berpandapat yang bertanggung jawab yang dibatasi dengan kebebasan orang lain, nilai-nilai, norma dan tentunya tidak melanggar hukum.Dan penyampaian pendapat yang bermasis media IT pun harus pada kontrol yang benar.
Menurut kami  pada kasus ini, seorang PNS yang bernama Alex memilih menjadi seorang Atheis adalah haknya,  Indonesiapun memberikan hak dan kebebasan bagi warga negaranya dalam  memeluk agama yang dipercayainya sekalipun seorang warganya tidak mempercayai paham Ketuhanan yang berlaku di Indonesia, bahkan Pemerintah telah sejak lama menghapus Undang-Undang peraturan pelarangan menganut paham Atheis, jadi itu tidak menjadi masalah dan tidak dapat dijadikan alasan untuk menghukum PNS tersebut.
Yang menjadi permasalahannya adalah keyakinan hasil pemikirannya yang disampaikan dalam bentuk suatu tulisan di akun facebooknya yang dianggap sebagai bentuk penghinaan oleh sebagian pihak.Dan menjerat PNS tersebut dengan Undang-Undang ITE adalah tindakan yang benar, karena pada dasarnya Undang-Undang ITE dibuat dengan tujuan untuk mewujudkan suatu kondisi perilaku masyarakat yang santun dan tertib.Sedangkan pendapat atau pernyataan yang ditulis oleh beliau dirasa sangat tidak santun. Bahkan Pengenaan pelanggaran tersebutpun sangat sesuai apabila disinggung mengenai kebebasan berpendapat yang dijamin oleh negara dalam Undang-Undang No 9 tahun 1998 mengenai kemerdekaan mengeluarkan pendapat , yaitu pendapat yang bertanggung jawab dan tidak melanggar hukum.Sedangkan Pendapat yang ditulis oleh beliau di media internet sangatlah melanggar kode etik karena jelas tulisannya bermakna penghinaan yang melanggar undang-undang negara dan undang-undang ITE.
Pengenaan Undang-Undang ITEPasal 27 ayat 3 Undang-Undang No 8 tahun 2011 yang berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan/ membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinanaan dan/ Pencemaran nama baik” serta penjeratan Pasal 156a KUHP tentang penistaan Agama  kepada PNS tersebut sudah tepat karena tindakannya tersebut jelas melanggar.
Dan dalam hal ini Undang-Undang negara RI  maupun Undang-Undang ITE sudah bekerja atau digunakan dengan benar dan tepat yaitu untuk menjerat seorang PNS yang memang terbukti bersalah karena melanggar peraturan yang berlaku.
Jadi Kasus Alex ini harus segera diproses dan ditindaklajuti dengan cepat agar tidak menjadi polemik dan konflik yang berkepanjangan, dan Alex harus tetap menerima sanksi dan hukuman sesuai dengan peraturan yang berlaku. Dan akun Facebook milik Alex harus secepatnya ditutup agar tidak terus menjadi keresahan bagi masyarakat terlebih lagi tulisan Alex yang menganut Atheis dengan tidak membenarkan adanya Tuhan ditakutkan akan menjadi pengaruh bagi orang lain jadi akun Facebook Alex harus ditutup.
Menurut kamipun Pemerintah harus menyikapi kasus ini dengan serius terutama jika melihat banyaknya pihak asing yang mendukung kampanye grup Internasional seperti Support Alex Aan’s Human Rights Karena itu tentunya akan mempengaruhi citra indonesia.Jadi Pemerintah harus mengambil sikap atau tindakan dalam menyelesaikan kasus ini, dimana solusi atau penyelesaian yang diberikan oleh pemerintah merupakan suatu penyelesaian yang tepat dan bijaksana bagi semua pihak .
Dan keberadaan Undang-Undang ITE menurut kami sudah tepat untuk diberlakukan, karena dengan semakin berkembang zaman dirasa sangat perlu sesuatu yang dapat menjadi pembatas dalam setiap perilaku manusia yang memang semakin sulit dikontrol. Tidak bermaksud untuk membatasi hak kebebasan berpendapat atau berekspresi seseorang, sebagaimana terjamin dalam Undang-Undang No 9 Tahun 1998 tentang kemerdekaan mengeluarkan Pendapat, Undang-Undang ITE bertujuan dan diharapkan dapat menjadi pengontrol kebebasan berpendapat di media online sosial yang berkembang sangat pesat, jadi sudah sepatutnya Undang-Undang ITE diberlakukan di Indonesia bersamaan dengan Undang-Undang RI mengenai kemerdekaan mengeluarkan pendapat secara bertanggung jawab dan sesuai dengan nilai-nilai dan norma yang berlaku, dengan begitu maka kesantunan dan kedamaian masyarakat dan negara dapat tercipta.

Tugas Kewarganegaran (Hak dan Kewajiban WNI)


HAK & KEWAJIBAN WARGA NEGARA INDONESIA BESERTA PASAL-PASALNYA
Sebagai warga negara yang baik kita wajib membina dan melaksanakan hak dan kewajiban kita dengan tertib. Hak dan kewajiban warga negara diatur dalam UUD 1945 seperti salah satunya ialah :
A.    Warga Negara Indonesia
Negara Indonesia telah menentukan siapa-siapa yang menjadi warga negara . ketentuan tersebut tercantum dalam pasal 26 UUD 1945 sebagai berikut :
1. Yang menjadi warga negara ialah orang-orang Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan undang-undang sebagai warga negara
2. Penduduk ialah waraga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia
3. Hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang
B.     Hak Atas Kedudukan Warga Negara serta Pekerjaan dan Penghidupan yang Layak Bagi Warga Negara
Pasal 27 ayat (1) menyatakan, bahwa “Tiap-tiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemeritahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Pasal ini menyatakan adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban, yaitu:
1. Hak untuk diperlakukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.
2. Kewajiban menjunjung hukum dan pemerintahan.
Pasal 27 ayat 2 UUD 45 menyatakan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Pasal ini memancarkan asas keadilan social dan kerakyatan. Berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur hal ini dengan tujuan menciptakan lapangan kerja agar warga negara memperoleh penghidupan yang layak. Kenyataannya banyak warga negara Indonesia yang tidak mendapat penghidupan yang layak dan jumlah pengangguranpun semakin banyak dari tahun ketahun. . Dibandingkan di negara Amerika Serikat pemerintah berupaya untuk memberi fasilitas kepada warga negaranya dengan memberi tunjangan sosial bagi rakyat Amerika dan pemerintah berusaha menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya
C.     Kemerdekaan Berserikatdan Berkumpul

·         Hak untuk hidup dan mempertahankan kehidupan: “setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” (pasal 28A).
·         Hak untuk membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah (pasal 28B ayat 1).
·         Hak atas kelangsungan hidup. “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan Berkembang”
·         Hak untuk mengembangkan diri dan melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya dan berhak mendapat pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan kualitas hidupnya demi kesejahteraan hidup manusia. (pasal 28C ayat 1)
·          Hak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya. (pasal 28C ayat 2).
·         Hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di depan hukum. (pasal 28D ayat 1).
·         Hak untuk mempunyai hak milik pribadi
·          Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. (pasal 28I ayat 1)

           Pasal 28 UUD 45 menetapkan hak warga Negara dan penduduk untuk berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pendapat/pikiran secara lisan maupun tertulis. Syarat-syaratnya akan diatur dalam UU. Pasal ini mencerminkan bahwa Negara Indonesia bersifat demokratis dibandingkan dengan Negara Amerika, Konstitusi Amerika mencantumkan hak berbicara ini dalam Amendemen Pertama 1791 yang menyatakan bahwa; ”Konggres dilarang membuat hukum (undang-undang) yang mencabut kebebasan berbicara atau kebebsan pers jadi kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat hampir sama dengan Negara Indonesia Kita, negara Amerika serikat sebag negara liberal lalu menjadi pemikiran politik di Amerika pada 1970. Amerika menjadi pemasok berita terbesar untuk informasi. Kebebasan menyampaikan pendapat diadopsi pers di Inggris pasca Revolusi 1688. evolusi tersebut menghasilkan Bill of Rights, yang mengesahkan adanya hak hidup, hak kemerdekaan dan hak milik. Hak yang harus difasilitasi untuk dikabarkan oleh pers. Hak ini didukung oleh kalangan libertarian, yang menjadi oposisi biner dari pihak otoritarian.
ini menunjukkan tingginya apresiasi masyarakat Amerika kepada media. Media sudah menjadi bagian dari hidup masyarakat Amerika, dari persoalan politik, hukum, ekonomi dan kebudayaan semuanya tidak dilepaskan dari adanya ketergantungan masyarakat Amerika kepada media

D.    Kemerdekaan MemeIuk Agama
Pasal 29 ayat 1 UUD 45 menyatakan bahwa Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Selanjutnya penjelasan UUD 45 menyebutkan bahwa ayat ini menyatakan kepercayaan bangsa Indonesia terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ayat 2 menyatakan bahwa Negara:
Menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
 Kebebasan memeluk agama merupakan salah satu hak yang paling asasi diantara hak-hak asasi manusia, karena kebebasan beragama itu langsung bersumber pada martabat manusia sebagai mahluk ciptaan Tuhan dan kehidupan warga Negara Indonesia dilandasi aturan-aturan agama. sedangkan Amerika yang menganut Ideologi liberal tidak mempermasalahkan hubungan manusia dengan Tuhan, sehingga negara dan agama tidak boleh saling mempengaruhi, menjadikan Amerika Serikat sebagai negara sekuler yang kehidupannya tidak dilandasi aturan-aturan agama.

E.     Hak Dan Kewajiban Pembelaan Negara
Pasal 30 ayat 1 UUD 45 menyatakan bahwa hak dan kewajiban setiap warga Negara untuk kut serta dalam usaha pembelaan Negara dan ayat 2 menyatakan bahwa pengaturannya lebih lanjut dilakukan denga.n_UU. UU yang dimaksud adalah UU Nomor 20 Tahun 1982 tentang pokok-pokok Pertahanan Keamanan Negara yang antara lain mengatur sistem pertahanan kemanan nebara semesta.
 Namun Hak dan kewajiban di Indonesia ini tidak akan pernah seimbang. Apabila masyarakat tidak bergerak untuk merubahnya. Banyak Negara Indonesia yang tidak mempunyai jiwa  nasionalis. Sebagai warga negara yang baik sudah sepantasnya kita turut serta dalam bela negara dengan mewaspadai dan mengatasi berbagai macam ATHG / ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan pada NKRI / Negara Kesatuan Republik Indonesia
Dibandingkan dengan Negara Amerika Serikat bela negara dilaksanakan pelatihan militer, biasanya satu akhir pekan dalam sebulan. Mereka dapat melakukannya sebagai individu atau sebagai anggota resimen, misalnya Tentara Teritorial Britania Raya. Dalam beberapa kasus milisi bisa merupakan bagian dari pasukan cadangan militer, seperti Amerika Serikat National Guard
F.      Hak Mendapat Pengajaran
Sesuai dengan tujuan Negara RI yang tercermin dalam alinea ke 4 Pembukaan UUD 45, yaitu bahwa pemerintah Negara Indonesia antara lain berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa, Pasal 31 ayat 1 UUD 45 menetapkan bahv/a tiap-tiap warga Negara berhak mendapatkan pengajaran. Untuk itu UUD 45 mewajibkan pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu system pengajaran nasional yang diatur dengan UU (Pasal 31 ayat 2).
Namun pada kenyataannya banyak warga negara di Indonesia yang kurang mendapat pendidikan yang layak, masih banyak anak-anak yang putus sekolah karena tidak ada biaya, masyarkat buta huruf. Jika dibandingkan dengan negara Amerika Serikat berada yang mengedepankan pada kelengkapan infrastruktur dan program sosial pemerintah terutama dari segi pendidikan dan kesehatan yang memberikan kemudahan bagi golongan kurang mampu. Amerika Serikat memiliki banyak lembaga-lembaga swasta dan publik pendidikan tinggi yang kompetitif, serta masyarakat lokal masuk perguruan tinggi dengan kebijakan terbuka. Dari jumlah penduduk Amerika yang berumur diatas dua puluh lima tahun, sekitar 84,6% lulus dari sekolah menengah umum, 52,6% dari mereka masuk ke beberapa perguruan tinggi, dan sekitar 27,2% memperoleh gelar sarjana, dan 9,6% memperoleh gelar sarjana muda. Hampir seluruh rakyat amerika tidak ada yang buta huruf mencapai sekitar 99% dari total keseluruhan.
Hak dan Kewajiban Warga Negara

·         Hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak.
·         Hak membela negara
·          Hak berpendapat
·         Hak kemerdekaan memeluk agama
·          Hak mendapatkan pengajaran
·          Hak utuk mengembangkan dan memajukan kebudayaan nasional Indonesia
·          Hak ekonomi untuk mendapat kan kesejahteraan sosial
·          Hak mendapatkan jaminan keadilan sosial
Sedangkan kewajiban warga negara Indonesia terhadap negara Indonesia adalah :
·          Kewajiban mentaati hukum dan pemerintahan
·          Kewajiban membela negara
·          Kewajiban dalam upaya pertahanan negara

Selasa, 27 Maret 2012

tugas kelompok kewarganegaraan


MAKALAH PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
“ Kaitan Kasus Ambalat dengan Wawasan Nusantara ”


https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgnEr2gvzv3B6a_GEAjHsaG4Jh0YSxfUNJ8ufC2OWG-fBI2LqI9Bd46jhOTFMCDI7xqs63jB5mnb4-XFVuSBgEORt1XWZHVVAw9BluSoa6TOdQa1MfSYn8oWIPGrb_Yy8hVsTXPihUFdFa2/s250/LogoGunadarma.jpg



DI SUSUN OLEH :
Dian Sukmana Dwi Astuti     11210973
Eka Puspitasari                      12210285
Fifi Ellin                                  12210769
Rini Pratiwi                            19210529
Riri Syukriati                         18210980
Siti Desimayanti H                 16210584
Tiara Gustiviana                    16210885
Tuti Handayani                      19210344
Widha Lovendriati                18210482

Kelas : 2EA13
Universitas Gunadarma Kalimalang
Fakultas Ekonomi Manajemen S1
DAFTAR ISI


JUDUL……………………………………………………………………………            1
DAFTAR ISI………………………………………………………………….…. .           2

BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………………………..   .    3

BAB II
PERMASALAHAN
                        A.     Apa Pengertian dan Sejarah singkat Wawasan Nasional……………………...…..    5
                        B.     Apa Kaitan kasus Ambalat dengan Wawasan Nasional………………………...…   5
      C.     Bagaimana Hikmah dan Solusi kasus Ambalat kaitannya dengan Implementasi Wawasan  Nusantara……………………………..…………………………………          5

BAB III
PEMBAHASAN
                        A.     Pengertian dan Sejarah singkat Wawasan Nasional……………………...…..…..    6
                        B.     Kaitan kasus Ambalat dengan Wawasan Nasional………………………..…...…   6
      C.     Hikmah dan Solusi kasus Ambalat kaitannya dengan Implementasi Wawasan  Nusantara……………………..……………..………………………………..……          14

BAB III
KESIMPULAN………………………………………………………………….…          18

           
BAB I
PENDAHULUAN

Masalah perbatasan wilayah erat kaitannya dengan pemahaman dan pelaksanaan konsepsi wawasan nusantara. Akhir-akhir ini makin marak berita yang menayangkan berbagai persengketaan wilayah antar Negara, mulai dari persengkataan wilayah oleh palestina dan Israel yang belum juga menemukan titik pemecahan sampai detik ini sampai masalah yang terjadi di wilayah Nusantara sendiri. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan dengan pulau-pulau besar dan ribuan pulau kecil, dan letaknya yang di antara dua benua dan dua samudra sangat rawan dengan akan adanya masalah perbatasan ini. Masalah perbatasan sudah 2 kali terjadi antara Indonesia dan Malaysia yaitu yang pertama persengketaan mengenai wilayah Sipadan dan Ligitan yang berujung dengan kemenangan oleh pihak Malaysia, dan kasus yang terbaru mengenai persengketaan atas wilayah Ambalat. Sebelum membahas mengenai perbatasan Ambalat dan kaitannya dengan konsep serta implementasi wawasan nusntara, ada baiknya  kita kilas balik mengenai masalah Sipadan dan Ligitan sebagai acuan untuk masalah ini.
Mahkamah Internasional telah memutuskan bahwa Malaysia memiliki kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan berdasarkan pertimbangan “effectivitee”, yaitu bahwa Pemerintah Inggris telah melakukan tindakan administratif secara nyata sebagai wujud kedaulatannya berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak 1930-an, dan operasi mercu suar sejak awal 1960-an. Sementara itu kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia hampir 15 tahun terakhir tidak menjadi faktor pertimbangan. Pada pihak lain, Mahkamah menolak argumentasi Indonesia yang bersandar pada Konvensi 1891 yang dinilai hanya mengatur perbatasan darat dari kedua negara di Kalimantan. Garis paralel 4º 10' Lintang Utara ditafsirkan hanya menjorok ke laut sejauh 3 mil dari titik pantai timur Pulau Sebatik sesuai ketentuan hukum laut internasional pada waktu itu yang menetapkan laut wilayah sejauh 3 mil. Sebaliknya, Mahkamah juga menolaak argumentasi Malaysia mengenai perolehan kepemilikan atas kedua pulau tersebut berdasarkan “chain of title” (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu).
Hampir tidak dapat dielakkan adanya rasa kecewa yang mendalam bahwa upaya maksimal yang dilakukan oleh empat pemerintahan Indonesia sejak tahun 1997 ternyata tidak membuahkan hasil seperti yang kita harapkan bersama.
            Suatu fakta penting yang perlu kita ketahui adalah UU No. 4 Tahun 1960 yang memuat peta Wawasan Nusantara kita dimana ditarik dengan garis pangkal yang menghubungkan titik terluar dari pulau-pulau terluar yang dimiliki Indonesia, kedua pulau Sipadan dan Ligitan berada diluar peta tersebut. Sementara itu perlu juga dicatat bahwa pihak Malaysia juga tidak memuat kedua pulau tersebut dalam peta-peta mereka hingga tahun 1979. Namun kita berkewajiban untuk menghormati Persetujuan Khusus untuk bersama-sama mengajukan sengketa antara Indonesia dan Malaysia tentang kedaulatan atas Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan kepada Mahkamah Internasional, yang ditandatangani pada tanggal 31 Mei 1997. Oleh karena itu Pemerintah Indonesia menerima keputusan Mahkamah Internasional tersebut sebagai final dan mengikat.
(Pernyataan Pers Hassan Wirajuda Tentang Keputusan Kasus Sipadan dan Ligitan)
 Belajar dari masalah Sipadan dan Ligitan maka diperlukan suatu pemahaman mengenai konsep kepulauan Indonesia yang lazim disebut dengan Wawasan Nusantara serta implementasinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini penting untuk menjaga keutuhan wilayah Republik Indonesia sebagai satu kesatuan yang utuh yang terbentang dari ujung barat, sabang ke ujung timur, merauke.



BAB II
PERMASALAHAN

Dalam makalah ini akan dibahas beberapa masalah diantaranya adalah sebagai berikut :
1.      Apa Pengertian dan Sejarah singkat Wawasan Nasional ?
2.      Apa Kaitan kasus Ambalat dengan Wawasan Nasional ?
3.     Bagaimana Hikmah dan Solusi kasus Ambalat kaitannya dengan Implementasi Wawasan Nusantara ?

















BAB III
PEMBAHASAN

Menilik semua permasalahan diatas semua berawal dari konsep dan implementasi dari wawasan nusantara. Dalam rangka menerapkan wawasan nusantara, kita sebaiknya terlebih dahulu mengerti dan memahami pengertian ,ajaran dasar, hakikat ,asas, kedudukan dan fungsi serta tujuan wawasan nusantara.
A.  Pengertian dan sejarah singkat timbulnya wawasan nusantara             
 1. Pengertian Wawasan Nusantara
                  Istilah wawasan nusantara berasal dari kata wawas yang berarti pandangan, tinjauan, atau penglihatan inderawi.
Istilah wawasan berarti cara pandang, cara tinjau, atau cara melihat.
Sedangkan istilah nusantara berasal dari kata “nusa” yang berarti pulau-pulau, dan “antara” yang berati diapit di antara dua hal.
Secara unum wawasan nasional berarti cara pandang suatu bangsa tentang diri dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah dan sejarah bangsa itu sesuai dengan posisi dan kondisi geografi negaranya untuk mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya.
Wawasan nusantara mempunyai arti cara pandang bangsa Indonesia  tentang diri dan lingkungannya berdasarkan pancasila dan UUD 1945 serta sesuai dengan geografi wilayah nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai tujuan dan cita-cita nasionalnya.

B.     Kaitan Kasus Ambalat dengan Wawasan Nusantara
Indonesia sebagai sebuah bangsa yang besar dan wilayah yang luas baik darat maupun lautan memiliki tantangan tersendiri untuk menjaga keutuhan dan persatuan serta kesatuan wilayahnya. Berbagai ancaman, hambatan, tantangan dan gangguan baik yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri dapat mengancam keutuhan bangsa dan Negara Indonesia. Hal yang berkaitan dengan konsep wawasan nusantara serta implementasinya salah satunya mengenai persengketaan berkaitan dengan daerah perbatasan antar Negara. Seperti hal yang sangat marak baru-baru ini yaitu sengketa antar dua negara serumpun, Indonesia-Malaysia mengenai daerah perbatasan di wilayah Ambalat.
   Adapun latar belakang yang memunculkan masalah tersebut yaitu Pemberian konsesi eksplorasi pertambangan di Blok ND7 dan ND6 dalam wilayah perairan Indonesia. Tepatnya di Laut Sulawesi, perairan sebelah timur Kalimantan oleh perusahaan minyak malaysia, petronas kepada PT Shell, pada tanggal16 Februari 2005. Padahal Pertamina dan Petronas sudah lama saling mengklaim hak atas sumber minyak dan gas di Laut Sulawesi dekat Tawau, Sabah yang dikenal dengan East Ambalat. Kedua perusahaan minyak dan gas itu sama-sama menawarkan hak eksplorasi ke perusahaan asing. Blok Ambalat diperkirakan memiliki kandungan 421,61 juta barel minyak dan gas 3,3 triliun kaki kubik.
Pemberian konsesi minyak oleh Malaysia tersebut menimbulkan reaksi dari berbagai pihak di Indonesia. klaim tersebut dilakukan Malaysia dengan argumentasi peta tahun 1979 yang diterbitkan secara sepihak oleh Malaysia. dan menurut Marty Natalegawa "Jangankan Indonesia, negara lain saja sudah protes atas penerbitan peta itu, karena mengubah wilayah perairan di Asia Tenggara,".Protes terhadap peta itu sudah dilakukan sejak Tahun 1980 dan tetap dilakukan secara berkala. Indonesia sendiri telah memberikan konsesi minyak kepada beberapa perusahaan minyak dunia di lokasi ini sejak tahun 1960-an tanpa ada keberatan dan protes dari negara lain. "Karena memang dilakukan di wilayah Indonesia," kata Marty.
Malaysia semula mengklaim memiliki wilayah perairan Indonesia lebih dari 70 mil dari batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Belakangan Malaysia memperluas wilayahnya sampai sejauh dua mil. Dengan demikian, total luas wilayah Indonesia yang telah "dicaplok" Malaysia adalah 15.235 kilometer persegi. Adapun titik awal penarikan garis batas pengakuan dimulai dari garis pantai Pulau Sebatik, Kaltim.
Salah satu bukti kesewenang-wenangan Malaysia yang lain adalah mencantumkan kawasan Karang Unarang ke dalam wilayah perairan Malaysia pada peta terbaru yang dikeluarkan pemerintahan pimpinan Perdana Menteri Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi. Padahal selama ini Karang Unarang berada di kawasan Indonesia. Pengakuan tersebut kontan ditolak Indonesia. Alasannya, Malaysia bukan negara kepulauan dan hanya berhak atas 12 mil dari garis batas pantai Pulau Sipadan dan Ligitan. Patut diketahui, konsep Wawasan Nusantara atau status Indonesia sebagai negara kepulauan telah diakui dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1982 (UNCLOS 1982).
Kontan saja, tindakan sepihak ini menuai tanggapan yang beragam dari seluruh lapisan masyarakat Indonesia, dari mulai demo, sikap untuk melakukan diplomasi, hingga sikap keras untuk melakukan perang terbuka.
Tindakan pemerintah Malaysia yang mengklaim blok perairan Ambalat sebagai wilayah teritorial negaranya telah memicu sikap dan tindakan "reaksi" dari berbagai komponen masyarakat Indonesia. Bahkan, banyak anggota masyarakat yang siap mengikrarkan diri sebagai korps sukarelawan apabila konflik klaim wilayah perairan Ambalat termanifestasi menjadi perang terbuka. Perasaan sakit hati masyarakat (bangsa) Indonesia tersebut sesungguhnya merupakan akumulasi kekecewaan dan tumpukan rasa sakit hati atas berbagai kebijakan pemerintah Malaysia yang begitu antikemanusiaan dan antipenghargaan martabat bangsa lain (khususnya bangsa Indonesia). Dari kasus TKI, di mana pemerintah Malaysia lebih banyak bertindak represif dan seolah menempatkan para TKI asal Indonesia sebagai "budak belian" yang disia-siakan. Juga kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan melalui keputusan ICJ (International Court Justice) tahun 2002, menjadi inspirasi sentimen nasionalisme bangsa ini.

Perkembangan kasus Ambalat sendiri, saat ini telah menaikkan ketegangan hubungan diplomatik antara Malaysia dan Indonesia, meski dalam strategi politik media di Malaysia kasus klaim Ambalat sengaja ''didinginkan'' agar publik Malaysia tidak terlibat jauh dalam sengketa politik tersebut.
Ada beberapa sikap masyarakat di dalam negeri Indonesia yang merespons kasus Ambalat. Pertama, sikap anti-Malaysia dalam pengertian politik. Sikap ini ditunjukkan oleh kalangan nasionalis dan masyarakat awam yang sebenarnya memiliki perasaan sakit hati atas kebijakan politik pemerintah Malaysia dalam kasus TKI. Sikap ini ditunjukkan dalam berbagai demonstrasi dengan isu "Ganyang Malaysia". Kedua, sikap kritis dan rasional. Sikap ini mencoba mengkritisi kasus Ambalat sebagai bentuk sengketa kewilayahan antardua negara tetangga karena perbedaan sudut pandang politik kemaritiman dan juga kepentingan ekonomi-politik. Sikap ini ditunjukkan oleh kalangan cerdik pandai di Indonesia yang memposisikan kasus Ambalat setara dengan kasus-kasus sengketa batas wilayah atau klaim teritorial seperti Kepulauan Spratly, yang diperebutkan lima negara asia. Ketiga, sikap kritis-progresif. Sikap ini ditunjukkan
Oleh berbagai komponen gerakan mahasiswa yang mencoba membaca kasus Ambalat sebagai bentuk pertaruhan harga diri bangsa dan negara dari deraan kepentingan ekonomi-politik neo-imperalisme.Sikap kritis-progresif kalangan gerakan mahasiswa -- yang terekspresi dalam berbagai aksi, demonstrasi, pernyataan sikap -- tersebut dilandasi oleh kerangka berpikir bahwa kasus konflik Ambalat sebenarnya merupakan konflik kepentingan rezim neo-liberalisme dan neo-imperalisme yang terwakili berbagai serikat perusahaan minyak global yang ingin mengeksploitasi sumber daya minyak di gugus perairan Ambalat (East Ambalat). Yakni antara perusahaan minyak UNOCAL (AS) dan ENI (Italia) yang telah menjalin kontrak dengan pemerintah Indonesia, diwakili Pertamina melawan perusahaan SHELL (Inggris-Belanda) yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah Malaysia,yang telah menjalin kontrak kerja sama dengan pemerintah Malaysia, yang diwakili "mitra bisnisnya'', yakni Petronas.Dalam catatan pengamat politik Riswanda Imawan, sengketa perairan Ambalat merupakan medan "pertempuran'' kepentingan antarperusahaan kapitalis minyak di atas untuk memperebutkan sumber daya minyak dan gas yang ada di dasar perairan Ambalat. Dalam konteks demikian sebenarnya konflik Ambalat adalah pertentangan kepentingan antarperusahaan minyak global dengan memanfaatkan politik intervensi pemerintah Malaysia yang mungkin memiliki sikap berani berkonflik melawan pemerintah Indonesia, yang saat ini lemah secara politik, ekonomi dan kekuatan persenjataan karena deraan praktik korupsi serta krisis ekonomi sejak akhir kekuasaan Orde Baru.
 Sikap masyarakat Indonesia sangat wajar, mengingat luka akan lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan masih belum hilang. Selain itu, hingga saat ini, pihak Malaysia tidak pernah berniat baik dalam menyelesaikan permasalahan perbatasan dengan negara tetangga. Sikap arogansi Malaysia ini dicerminkan oleh ditetapkannya peta wilayah buatan Malaysia tahun 1979 secara sepihak dan dengan gampangnya memasukkan wilayah negara lain sebagai wilayahnya, seperti wilayah Indonesia, China, Filipina, Thailand, Vietnam, serta Inggris yang mengatasnamakan Brunei Darussalam.
Sebagaimana Indonesia, negara-negara yang wilayahnya diklaim oleh Malaysia melakukan protes keras. Ironisnya, hingga saat ini pihak Malaysia belum menuntaskan masalah ini secara penuh. Padahal, klaim suatu wilayah secara sepihak tidak dibenarkan oleh ketentuan internasional sebagaimana tertuang dalam hukum laut internasional (UNCLOS 1982).
Dengan kata lain, apabila suatu wilayah negara pantai berhadapan (opposite) atau berdampingan (adjacent) dengan negara lain, maka negara tersebut harus melakukan perundingan untuk mencapai persetujuan. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada keputusan Mahkamah Internasional 18 Desember 1951 dalam kasus perikanan atau yang dikenal dengan Anglo norwegian fisheries case antara Inggris dan Norwegia. Pada kasus itu disebutkan, bahwa delimitasi batas wilayah laut tidak hanya bergantung pada kehendak sepihak satu negara pantai saja yang dituangkan dalam undang-undang nasionalnya, melainkan keabsahannya delimitasi batas wilayah laut harus didasarkan pada hukum internasional.
Sementara itu yang patut diingat dalam menuntaskan permasalahan sengketa Ambalat, di samping show of force militer, Pemerintah Indonesia juga harus menyiapkan strategi jitu secara diplomatik agar tidak kembali menelan kekalahan seperti dalam persidangan kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan. Akankah kedaulatan wilayah kita yang disatukan oleh lautan kembali terlepas dari pangkuan Ibu Pertiwi?
Perjuangan Indonesia untuk memperoleh pengakuan sebagai negara kepulauan merupakan sebuah perjalanan panjang yang sangat melelahkan. Hal ini dikarenakan usaha-usaha untuk memasukkan rezim kepulauan selama diadakan Konferensi Kodifikasi Den Haag tahun 1930 dan Konferensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 selalu mengalami kegagalan. Di samping tidak adanya kesepakatan mengenai pengertian negara kepulauan, kegagalan tersebut dipengaruhi oleh berbagai kepentingan antarnegara, khususnya negara-negara maritim besar yang ingin terus menancapkan hegemoninya di wilayah laut.
Mochtar Kusumaatmadja (2003) menyebutkan, sekurang-kurangnya ada empat golongan yang berkepentingan dengan prinsip-prinsip negara kepulauan, yaitu: Pertama, negara-negara tetangga, yakni anggota-anggota ASEAN dan negara-negara tetangga lainnya, termasuk Australia. Kedua, negara yang berkepentingan terhadap perikanan dan pemasangan kabel komunikasi di dasar laut, seperti Jepang yang melakukan kegiatan perikanan di Perairan Indonesia sejak sebelum perang. Ketiga, negara maritim yang berkepentingan terhadap lalu lintas pelayaran laut. Dalam golongan ini termasuk negara- negara Eropa Barat yang memiliki armada niaga besar dan maju. Keempat, negara maritim besar yang mempunyai kepentingan terhadap strategi militer, seperti Amerika Serikat dan Rusia.
Sementara itu jauh sebelum bergabungnya Indonesia, Filipina, Fiji, dan Mauritus sebagai negara pendukung asas-asas kepulauan pada akhir tahun 1972, Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 13 Desember 1957 mengeluarkan suatu deklarasi tentang wilayah Perairan Indonesia yang dikenal dengan istilah Deklarasi Djuanda. Deklarasi ini mengubah batas laut teritorial Indonesia dari 3 mil berdasarkan Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonnantie (TZMKO) 1939 menjadi 12 mil. Artinya, bagian laut yang sebelumnya termasuk laut lepas (high seas), sekarang menjadi laut teritorial Indonesia, seperti Laut Jawa yang terletak antara Pulau Kalimantan dan Pulau Jawa.
Untuk memperkuat Deklarasi Djuanda 1957 dan melaksanakan konsepsi Wawasan Nusantara, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkan Perpu Nomor 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia yang kemudian diganti oleh UndangUndang No 6/1996. Dalam perkembangan selanjutnya, konsepsi negara kepulauan akhirnya mendapat pengakuan pada Konvensi Hukum Laut 1982.
Dimasukannya poin-poin negara kepulauan dalam Bab IV UNCLOS 1982 yang berisi 9 pasal, bagi seluruh rakyat Indonesia hal ini memiliki arti penting karena selama 25 tahun secara terus-menerus Pemerintah Indonesia memperjuangkan asas-asas negara kepulauan. Pengakuan resmi asas negara kepulauan ini merupakan hal yang penting dalam rangka mewujudkan satu kesatuan wilayah yang utuh sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 dan Wawasan Nusantara sebagaimana termaktub dalam TAP MPR tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang menjadi dasar bagi perwujudan kepulauan Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, dan keamanan.
Berdasarkan informasi yang berkembang, mencuatnya konflik Malaysia-Indonesia di Perairan Sulawesi disebabkan salah satunya oleh kesalahan Malaysia dalam melakukan penarikan garis pangkal (base line) pascasidang kasus Sipadan-Ligitan. Sejak beralihnya kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan, pihak Pemerintah Malaysia menempatkan dirinya sebagai negara kepulauan (archipelagis state), yang kemudian menggunakan garis pangkal lurus kepulauan (straight archipelagic baseline) dalam penentuan batas wilayahnya sehingga wilayah perairannya menjorok jauh ke selatan, mengambil wilayah perairan Indonesia.
Dengan dasar itu, materi yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, benarkah Malaysia merupakan negara kepulauan sebagaimana yang dipersyaratkan dalam UNCLOS 1982?
Secara umum, definisi yang diberikan UNCLOS 1982 terhadap negara kepulauan ialah negara-negara yang terdiri atas seluruhnya dari satu atau lebih kepulauan. Selanjutnya ditentukan, bahwa yang dimaksud dengan kepulauan adalah sekumpulan pulau-pulau, perairan yang saling bersambungan (inter-connecting water) dan karakteristik alamiah lainnya dalam pertalian yang demikian erat sehingga membentuk suatu kesatuan intrinsik geografis, ekonomis, dan politis atau secara historis memang dipandang sebagai demikian (Pasal 47). Dengan demikian, Malaysia tidak dibenarkan menggunakan garis pangkal lurus kepulauan karena mereka tidak berstatus sebagai negara kepulauan.
Selain itu, klaim Malaysia juga didasarkan pada konsepsi Landasan Kontinen (continental shelf) yang merupakan kelanjutan alamiah (natural prolongation) dari wilayah daratannya sampai pada ujung luar dari tepian kontinen atau sampai pada jarak 200 mil laut dari garis pangkal. Ironisnya, lagi- lagi Malaysia keliru, karena Indonesia sebagai negara kepulauan yang berhak melakukan penarikan garis pangkal dari ujung luar batas pulau-pulaunya, maka batas laut teritorial bagian utara pulau Jawa berada di Lautan Sulawesi.


C. Hikmah dan Solusi  Kasus Ambalat Kaitannya dengan Implementasi Wawasan   Nusantara
Lepasnya Sipadan dan Ligitan ke tangan Malaysia, dan kini Blok Ambalat dalam klaimnya juga, secara hukum sebenarnya akibat kelalaian Indonesia yang tidak segera menetapkan batas terluar kepulauan Indonesia, terutama sejak rezim hukum negara kepulauan mendapat pengakuan dari masyarakat internasional melalui Konvensi Hukum Laut (KLH) 1982. Bab IV KLH, 1982 (Pasal 46 hingga Pasal 54) mengatur tentang Negara Kapulauan (Archipelagic States) Indonesia telah meratifikasi KLH 1982 melalui UU No. 17 Tahun 1985.
Namun, ratifikasi KLH 1982 ternyata dalam perkembangannya tidak segera diikuti dengan langkah-langkah tindak lanjut sebagai penjabarannya ke dalam peraturan perundang-undangan nasional. Kondisi tersebut sebenarnya kurang menguntungkan bagi Indonesia, karena berarti Indonesia belum dapat mengambil manfaat dari adanya perubahan dan atau pembaruan di bidang pengaturan atas laut khususnya yang diatur dalam Bab IV KLH 1982 tentang Negara Kapulauan.
Rezim hukum "negara kepulauan" Indonesia yang telah diperjuangkan dengan susah payah sejak deklarasi Juanda 1957, harus dijaga keutuhannya dan dipertahankan eksistensinya, bila perlu dengan mengerahkan kekuatan bersenjata dan seluruh rakyat Indonesia. Aksi Malaysia dengan klaimnya atas Blok Ambalat merupakan tamparan nyata terhadap kedaulatan teritorial "negara kepulauan" Indonesia. Aksi tersebut tidak boleh dibiarkan menjadi kenyataan. Tunjukkan dan tegaskan baik secara "faktual" maupun "yuridis" bahwa Blok Ambalat adalah milik Indonesia.
Pengaturan masalah kelautan bagi pemerintah Republik Indonesia merupakan hal yang penting dan mendesak mengingat bentuk geografi Republik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan yang terdiri dari 17.508 pulau dengan sifat dan corak tersendiri. Hal tersebut sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945 bahwa, "Pemerintah Republik Indonesia berkewajiban melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia".
Penetapan batas-batas laut teritorial selebar 3 mil dari pantai sebagaimana terdapat dalam Territiriale Zee en Maritieme Kringen-Ordonnantie 1939 (TZMKO 1939) Pasal 1 ayat 1 tidak sesuai lagi dengan kepentingan keselamatan dan keamanan negara Republik Indonesia. Demi kesatuan wilayah negara Republik Indonesia, semua pulau-pulau serta laut yang terletak di antaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang bulat.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, pada tanggal 13 Desember 1957, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan suatu pernyataan mengenai wilayah perairan Indonesia (deklarasi Juanda). Deklarasi tersebut yang di dalamnya mengandung konsepsi nusantara menimbulkan konsekuensi bagi pemerintah dan bangsa Indonsia untuk memperjuangkan dan mempertahankannya hingga mendapat pengakuan dari masyarakat internasional.
Deklarasi Juanda 1957 mendapat tantangan dari negara-negara yang saat itu merasa kepentingannya terganggu seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda dan New Zealand dengan menyatakan tidak mengakui klain Indonesia atas konsepsi nusantara. Negara yang mendukung pernyataan Indonesia mengenai konsepsi nusantara hanya Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.
Tapi dalam visi dan orientasi pembangunan, khususnya sejak Orba, kita melupakan visi dan orientasi negara kepulauan ini dan lebih berorientasi tanah daratan (land based oriented) yang mengakibatkan kita bersifat inward looking. Tanpa orientasi kepulauan, seperti dikatakan Dimyati Hartono, kita tidak punya national security belt, yakni titik-titik kawasan strategis bagi mengamankan kewilayahan dan kedaulatan negara. Setiap titik itu bukan saja menjadi pos pertahanan tetapi juga dikembangkan ekonomi dan sarana-prasarana pendidikannya sehingga kawasan-kawasan titik ini dengan sendirinya akan terbangun sistem peringatan dini (early warning system). Dengan orientasi kepulauan, Indonesia akan membangun dengan pandangan integratif darat, laut dan udara. Dan orientasi ini akan membuat kita lebih outward looking.
Dalam menghadapi sengketa dan konflik daerah perbatasan ada beberapa model dan pola yang pernah dan dapat dilakukan untuk mengatasinya seperti dijelaskan dalam Pasal 33 Piagam PBB tentang Hukum Laut Internasional bahwa bila tak bisa diselesaikan secara bilateral, ada pelbagai alternatif, misalnya mediator, arbitrator dan mekanisme regional. Dalam kasus Ambalat, Malaysia pasti tak akan menggunakan mekanisme regional di ASEAN, karena dia punya persoalan dengan semua negara tetangganya seperti Singapura, Vietnam, Brunei Darusalam, Filipina dan Thailand mengenai batas laut. Malaysia takut semua anggota ASEAN berpihak ke Indonesia.
Bila perundingan bilateral menemui jalan buntu, bisa dipilih solusi joint development, di mana Indonesia termasuk pelopor dalam penggunaan mekanisme itu. Pada 1989, setelah bertahun-tahun menemui jalan buntu, kita sepakat tak membuat garis batas dengan Australia di Celah Timor. Kita menyepakati membuat joint development dengan melakukan kerja sama ekonomi di wilayah yang disengketakan. Model joint development banyak mendapat pujian dari dunia dan konsep ini akhirnya ditiru negara-negata lain.
Sebagai negara kepulauan, kita mempunyai persoalan dalam menjaganya karena saat kemerdekaan, laut kita cuma 3 mil dari pantai. Jadi luas laut kita tak lebih dari 100 ribu kilometer persegi. Setelah konsep wawasan nusantara diterima dunia, dan mendapat tambahan ZEE 200 mil, total laut kita menjadi 6 juta kilometer persegi.
Dengan demikian, dengan alasan apa pun, klaim wilayah di Blok Ambalat dan Blok East Ambalat tidak dibenarkan oleh hukum laut internasional. Apalagi Indonesia diperkuat oleh serentetan sejarah yang mencatat bahwa perairan di Ambalat masuk ke dalam wilayah pengaturan Kerajaan Bulungan. Namun, langkah yang juga harus segera ditempuh oleh Pemerintah Indonesia adalah segera perbaiki dan depositkan PP No 38/2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia ke Sekjen PBB untuk dicatatkan sebagai bukti dalam penguasaan wilayah. Semoga usaha diplomasi yang kuat dan terukur dapat mempertahankan kedaulatan keutuhan Negeri Bahari yang kita cintai.
 Persengketaan atas wilayah Ambalat membutuhkan penyelesaian yang logis, relevan, tanpa merugikan pihak manapun apalagi sampai menimbulkan peperangan. Jika terjadi kontak senjata antar Angkatan Laut maka masing-masing negara bersengketa RI-Malaysia mengalami kerugian. Diusahakan sedapat mungkin persengketaan atas wilayah Ambalat dapat diselesaikan secara damai.
Sebuah sentilan mengenai kasus sipadan, ligitan, dan yang terakhir adalah ambalat, harusnya menyadarkan kita bahwa kita telah jauh dari konsep wawasan nasional yang merupakan landasan visional bangsa dan Negara Indonesia.
Berkaitan dengan masalah perbatasan ini kaitannya dengan Wawasan Nusantara, penulis menawarkan solusi untuk menilik kembali kepada diri kita masing-masing harusnya setiap warga Negara Indonesia perlu memiliki kesadaran untuk:
1.      Mengerti, memahami, dan menghayati hak dan kewajiban warga Negara serta hubungan warga Negara dan Negara, sehingga sadar sebagai bangsa Indonesia yang cinta tanah air berdasarkan pancasila, UUD 1945, dan Wawasan Nuasantara
2.      Mengerti, memahami, dan menghahayati bahwa di dalam menyelenggarakan kehidupannya Negara memerlukan konsepsi wawasan nusantara, sehingga sadar sebagai earga Negara memiliki wawasan nusantara guna mencapai cita-cita dan tujuan nasional
Indonesia harus lebih jeli dalam melihat setiap wilayahnya yang berbatasan dengan Negara lain, dan tentu apapun yang berkaitan dengan hal ini dibutuhkan bukti autentik. Indonesia harus belajar dari kasus Sipadan Ligitan agar wilayah Indonesia tetap merupakan satu kesatuan utuh yang berlandaskan kebhinekaan
BAB IV
KESIMPULAN

            Suatu bangsa yang telah mendirikan suatu negara, dalam menyelenggarakan kehidupannya Negara Indonesia tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Pengaruh itu timbul dari hubungan timbal balik antara filosofis bangsa kita, ideologi, aspirasi serta cita-cita dan kondisi sosial masyarakat, budaya, tradisi, keadaan alam, wilayah serta pengalaman sejarah bangsa Indonesia .Pemerintah dan rakyat memerlukan suatu konsep berupa wawasan nusantara untuk menyelenggarakan kehidupannya. Wawasan ini dimaksudkan untuk menjamin kelangsungan hidup Negara kesatuan republic Indonesia , keutuhan wilayah serta jati diri bangsa Indonesia. Kehidupan suatu bangsa dan negara senantiasa dipengaruhi oleh perkembangan lingkungan strategis. Karena itu, wawasan itu harus mampu memberi inspirasi bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai hambatan dan tantangan yang ditimbulkan oleh lingkungan strategis dan dalam mengejar kejayaannya
Negara Indonesia adalah negara yang solid terdiri dari berbagai suku dan bangsa, terdiri dari banyak pulau-pulau dan lautan yang luas. Jika kita sebagai warga negara ingin mempertahankan daerah kita dari ganguan bangsa/negara lain, maka kita harus memperkuat ketahanan nasional kita. Ketahanan nasional adalah cara paling ampuh, karena mencakup banyak landasan seperti : Pancasila sebagai landasan ideal, UUD 1945 sebagai landasan konstitusional dan Wawasan Nusantara sebagai landasan visional, jadi dengan demikian katahanan nasional kita sangat solid.